Senin, 28 Desember 2009

Moderatisme Yusuf Qardawi

Moderatisme Yusuf Qardawi

(Yusuf Qardawi the Moderate)

By Luthfi Assyaukanie

Source: Seputar Indonesia, 12/01/2007
Yusuf Qardawi (lahir 1926) adalah seorang intelektual Muslim moderat yang namanya telah mencuat sejak pertengajan tahun 1980an. Ketika saya masih kuliah di Yordania sekitar akhir tahun 1980an, Qardawi kerap diundang ke berbagai universitas di Timur Tengah untuk menyampaikan ceramahnya yang menyejukkan. Karya-karyanya banyak didiskusikan dan dirujuk para mahasiswa Arab yang saat itu terbelah antara kelompok sekularis dan kelompok ultra-konservatif. Qardawi mengambil sikap persis di tengah. Ia kerap mengkritik para intelektual Arab sekular dan juga mengkritik kaum ultra-konservatif.
Karya-karyanya, seperti al-Sahwah Islamiyah bayn al-Juhud wa al-Tatarruf (kebangkitan Islam antara penolakan dan ekstrimisme) dan al-Halal wa al-Haram fi al-Islam (yang halal dan yang haram dalam Islam) merefleksikan pandangan moderatnya. Ia tidak menyetujui cara-cara kaum sekular yang ingin mentransformasikan budaya Arab-Islam ke dunia modern sepenuhnya berdasarkan rasionalitas. Ia juga mengkritik kaum ultra-konservatif yang telalu berpegang pada teks-teks suci (nash) sambil mengabaikan akal-pikiran manusia sama sekali.
Dengan sikap moderatnya seperti itu, Qardawi memiliki cukup banyak pengikut, tapi sekaligus juga menuai dua kelompok musuh. Kaum sekular Arab kerap menganggapnya sebagai “orang konservatif yang pura-pura modern.” Sementara kaum ultra-konservatif menganggapnya sebagai “ahli fikih yang mengabaikan hadis dan sunnah nabi.”
Memang tidak mudah menjadi seorang moderat di tengah dua ekstrim masyarakat yang terbelah. Sejak kekalahan perang Arab-Israel pada tahun 1967, masyarakat Muslim Arab terbelah menjadi dua kelompok ekstrim itu: kelompok sekular dan kelompok ultra-konservatif. Banyak ulama dan tokoh Islam yang mencoba mengambil jalan tengah. Tapi, tidak semuanya berhasil. Qardawi adalah salah-satunya yang saya kira hingga kini masih terus setia berada pada garis tengah itu.
Qardawi menganggap posisi moderat adalah posisi yang dianjurkan al-Qur’an dan hadis Nabi. Dia mengutip al-Qur’an surah al-Maidah 143: “Kami jadikan kalian umat pertengahan (ummatan wasatan).” Dia juga mengutip beberapa hadis Nabi, seperti: “sebaik-baik perkara adalah pertengahan,” “takutlah akan berlebih-lebihan dalam beragama,” dan “Allah menginginkan kemudahan dan bukan kerumitan.”
Dalam galeri pemikiran Arab kontemporer, Yusuf Qardawi biasanya diletakkan sejajar dengan para ulama moderat lainnya, seperti Muhammad al-Ghazali, Anwar Jundi, dan Fathi Yakan. Meskipun beberapa pandangannya ada yang konservatif, tapi Qardawi cukup “liberal” jika dibandingkan dengan, misalnya, Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, dan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin lainnya.
Mungkin karena itulah, Charles Kurzman, seorang sarjana Amerika Serikat, menganggap Yusuf Qardawi sebagai seorang “Muslim Liberal,” dan memasukkannya ke dalam buku yang disuntingnya, Wacana Islam Liberal (Paramadina, 2001). Agaknya, Kurzman melihat Qardawi dari posisi kelompok ultra-konservatif yang memang tidak masuk akal dalam cara-cara mereka menjalankan agama (membolehkan pembunuhan, teror, perusakan, dll). Namun, jika dilihat dari sudut pandang kaum liberal (sekular), Qardawi tetaplah sebagai seorang konservatif.
Para intelektual Muslim liberal seperti Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, dan Nasr Hamed Abu Zayd menganggap Qardawi tetap sebagai seorang konservatif yang tidak berani melakukan ijtihad-ijtihad keagamaan yang lebih fundamental. Bahkan dalam isu-isu yang kurang fundamental seperti jilbab dan bunga bank, Qardawi masih menganut pandangan konservatif.
Qardawi menjadi “liberal” dan “moderat” jika ia dipertentangkan dengan kaum ekstrimis (mutatarrif), dan menjadi konservatif jika dia dihadapkan dengan para pembaru Muslim dalam tradisi Muhammad Abduh dan Ali Abd al-Raziq. Dalam konteks Indonesia, posisi Qardawi sama dengan para tokoh-tokoh Islam yang mengklaim diri sebagai orang moderat tapi pada saat yang sama tetap merangkul pandangan-pandangan konservatif. Contoh yang tepat barangkali adalah para anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang jelas-jelas menolak terorisme Islam tapi pada saat yang sama mengharamkan pluralisme dan menyesatkan Ahmadiyah.
Dalam wacana pemikiran Islam di dunia Arab kontemporer ada dua istilah yang merujuk pada makna yang sama, yakni nahdah dan sahwah. Kedua istilah ini berarti “kebangkitan” atau renaissance dalam bahasa Eropa. Istilah pertama, nahdah, digunakan untuk merujuk para pembaru Muslim tercerahkan, seperti Muhammad Abduh, Qassim Amin, dan Ali Abd al-Raziq. Sementara istilah kedua, sahwah, digunakan untuk merujuk para pembaru yang dalam pemikiran politik cukup “moderat” (dalam pengertian mau menerima demokrasi) tapi dalam isu-isu keagamaan tetap bersikap konservatif.
Yusuf Qardawi menempatkan diri dalam kelompok sahwah. Dalam bukunya, al-Sahwah al-Islamiyah, secara tegas ia memposisikan diri sebagai pendukung gerakan sahwah Islamiyah. Ia mendukung demokrasi, tapi menolak partai politik yang tidak Islami. Ia mendukung modernitas, tapi menolak bunga bank. Qardawi jelas-jelas menolak gerakan nahdah yang diprakarsai Abduh, dan karenanya, dia cenderung bersikap konservatif dalam banyak isu keagamaan.
Dalam konteks Indonesia, sikap keberagamaan Yusuf Qardawi lebih dekat dengan orang-orang MUI, ketimbang para pembaru Muslim seperti almarhum Nurcholish Madjid atau Abdurrahman Wahid. Dalam hal pemikiran politik, sikap dia lebih dekat kepada PKS (Partai Keadilan Sejahtera) ketimbang partai-partai nasionalis lainnya, seperti PKB, PAN, dan PDIP. Dilihat secara keseluruhan, saya kira, Qardawi lebih tepat dianggap sebagai seorang konservatif yang mencoba menjadi moderat.
Akhirnya, kedatangan Yusuf Qardawi ke Indonesia saya kira patut disambut baik. Paling tidak untuk menyemaikan pikiran-pikiran “moderat” di tengah kecenderungan masyarakat kita yang semakin ultra-konservatif. Peran Qardawi, saya kira, memang di situ, yakni mengurangi potensi-potensi ektrim dalam beragama yang akhir-akhir ini menggejala di dunia Islam.
Luthfi Assyaukanie. Peneliti Freedom Institute dan Pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar